Hidup Ini Rumit Karena Sebuah Rasa
Kriiing.....kriiiing....kriiing.........
Bel pulang sekolah berbunyi menandakan jam pelajaran kimia telah usai. Akhirnya aku bisa bernapas lega setelah menahan penat di kepala. Ya, otakku sudah lelah dengan senyawa, atom dan pasukannya. Kuingin segera pulang dan membaringkan badan. namun sebuah suara mengagetkanku,
"Sa, berangkat bareng yuk !!"
"Hah?! berangkat kemana Sal ?
"Ya elaah, hari ini kan kita ada pertemuan sama anak Pelita Harapan gimana sih!," jawab Salma dengan greget.
"OIYAA, yaudah kuy cabut. Eh tapi ntar naik motornya jangan kenceng-kenceng ya Sal, aku gatau jalan soalnya. Ntar kalo aku nyasar gimana?"
"Iyaa udah tenang aja."
Salma adalah temanku. Dia anak kelas X Ipa 2 sedangkan aku X Ipa 3. Itu sebabnya kita tidak terlalu akrab.
Akhirnya dengan berat hati kukubur dalam-dalam keinginanku untuk segera pulang. Akupun segera menuju ke parkiran motor. Kemudian berkumpul bersama teman-teman dan berangkat menuju SMA Pelita Harapan. Kami berangkat berbonceng-boncengan namun aku tidak.
Di perjalanan entah bagaimana ceritanya aku berada di urutan paling belakang. Bahkan Salma yang sudah janji untuk menungguku kini sudah berada jauh di depan. Akupun menoleh ke kiri dan ke kanan kebingungan. Namun kedua mataku tertuju pada sesosok kakak kelas yang ternyata masih ada didepanku. Akupun bisa bernapas lega karena aku masih punya kesempatan untuk tidak nyasar. Dengan sangat teliti aku terus memantau kakak kelas yang berjaket hijau tua itu kemanapun ia belok. Sialnya, dia naik motor dengan begitu kencang hingga aku kewalahan mengejarnya. Untung saja jalanan kota sedang macet sehingga aku bisa mengejarnya.
Selang beberapa lama akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Kini aku bisa bernapas lega. Ingin rasanya ku berterimakasih padanya, namun aku malu untuk mengatakannya. Aku bahkan tidak tahu namanya. Sepertinya ini pertama kali aku melihatnya.
"Sasa !!!" sebuah suara membuyarkan lamunanku.
"Selly !? Kamu beneran Selly kan ? Apa kabar Sel?" tanyaku.
"Iyaaa ini aku, aku baik-baik aja, eh kita udah lama ya ngga ketemu. Aku kangen banget."
"Iyaa iyaa aku juga kangen kok. Oiya nih kenalin. Ini Salma. Salma ini Selly."
"Salam kenal ya Sal," (Selly berjabat tangan dengan Salma).
"Salam kenal juga Selly," kata Salma.
"Oiya kamu kesini sama siapa Sa? Emangnya kamu tahu jalan ?" tanya Selly.
"Enggak, tadi aku ngikut kakak kelas yang itu tuh !" kataku sambil menunjuk.
"Hah, maksudmu Dito, Sa? Itu bukan kakak kelas kali, itu teman seangkatan kita. Dia anak kelas sebelah," Salma berkata dengan panjang lebar.
"Ooh, jadi yang tak ikutin tadi teman seangkatan kita dan namanya Dito."
"Yaps," kata Salma.
"Hayoo, Sasa teman sendiri nggak hafal gimana sih !" seru Selly.
"Hahaha, maaf ya kelasku tuh di ujung jadi jarang ketemu anak kelas lain. Apalagi aku jarang keluar kelas."
"Ooo gitu. Eh, udah jam pertemuan nih, ayo masuk !" kata Selly.
Kamipun bergegas masuk.
*****
Awan mendung di pagi hari. Ku langkahkan kaki dengan perlahan sambil membawa buku-buku yang tebal saat memasuki lorong kelas yang penuh sesak. Kutarik napas dalam-dalam dan mengatur napas sebelum memulai hari Selasa. Hari yang sangat melelahkan. Bagaimana tidak? Hari ini mata pelajaran dikelasku dipenuhi dengan hitung-hitungan. Hufftt...... rasanya ku ingin segera melewati hari ini dan melanjutkan esok pagi.
Brakkk.....Seseorang menabrakku dan membuat buku-bukuku berhamburan.
"Aduh, maaf ya aku nggak sengaja aku tadi nggak liat kalo ada kamu," serunya sambil membereskan buku.
"Mmmm...iya gapapa. Kamu bukannya Dito ya ?" tanyaku.
"Oh, iya kenalin aku Dito anak kelas X Ipa 1. Kamu?"
"Aku Sasa anak kelas X Ipa 3."
Teeeeett........teeeeeett.......teeeeeeett..........bel masuk berbunyi.
"Eh udah bel. Aku duluan ya buru-buru nih."
"Oke," kataku.
Akupun segera masuk kelas dan duduk dengan Tania. Teman SMP nya Salma.
Di kelas aku masih terbayang-bayang dengan Dito dan aku menjadi penasaran dengannya.
"Tania, kamu kenal Dito nggak?"
"Dito anak kelas X Ipa 1? Kenal aku kalo Dito yang itu. Emang kenapa?"
"Gapapa cuma nanya. Aku barusan ketemu dia soalnya," jawabku sedikit gugup.
Entah mengapa ini terlalu awal untuk kunyatakan bahwa aku suka dengan Dito. Mungkin aku baru kagum belum suka, apalagi cinta. Kukubur dalam-dalam niatku untuk mencari tahu tentang Dito. Segera kupasang earphone di telingaku untuk mendengarkan musik.
*****
Hari demi hari berlalu, kini sekolahku mengadakan acara pentas seni dalam rangka memperingati hari ulang tahun sekolah. Acara ini diisi dengan pemotongan tumpeng, penampilan dari cheers, dan penampilan dari grup band seni musik sekolah.
"Lumayan nih Tan, kita ngga pelajaran sehari yeaay," seruku kepada Tania.
"Iya Sa. Coba kalo ulang tahun sekolah tiap hari. Kan kita ngga pelajaran terus tiap hari," jawab Tania.
"Yeee, itu mah namanya ulang hari bukan ulang tahun," seruku.
Acara terus berjalan. Aku yang sejak tadi sudah merasa bosan ingin masuk kelas saja untuk tidur. Namun, baru saja aku berdiri, MC mengumumkan bahwa acara selanjutnya adalah penampilan dari grup band sekolah. Sontak saja teman-teman bersorak,
"Dito...Dito....Dito...."
Tentu saja aku tak jadi ke kelas tapi malah duduk lagi. Ternyata Dito tergabung dalam band tersebut dan menjadi vokalis. Dito pun mulai menyanyikan lagu. Entah mengapa hatiku berdebar melihatnya. Oh Tuhan, jangan kau buat rasa kagum ini semakin bertambah.
*****
Di sekolah aku dipanggil oleh bu Rini karena aku harus mengikuti ulangan harian susulan di perpustakaan sepulang sekolah nanti. Pupus sudah harapanku untuk segera pulang. Jam demi jam berlalu. Bel pulang sekolah berbunyi.
Akupun segera menuju ke perpustakaan. Sesampainya disana, aku kaget bukan kepalang.
"Sasa, kamu susulan juga?" tanya Dito
"Eh, Dito. Iya nih kemarin aku ijin soalnya," kataku dengan nada gugup. Ku mencoba menenangkan diri dan bertingkah senormal mungkin.
Bu Rini pun menghampiri kami.
"Jadi, ini soal ulangannya. Karena saya mendadak menyuruh kalian susulan, jadi kalian ngerjainnya barengan ya. Kalian tidak boleh buka buku tapi boleh diskusi," Bu Rini menjelaskan.
"Baik bu," kataku dan Dito bersamaan.
"Aduh kompaknya," seru Bu Rini.
Akupun tersipu malu. Ku tak bisa membayangkan bagaimana wajahku saat ini. Hmm... Seperti kepiting rebus mungkin.
Kamipun segera mengerjakan soal bersama-sama. Di sela-sela menjawab kami sempat tertawa terpingkal-pingkal karena membaca jawaban kami yang asal-asalan hanya mengawang tanpa tahu kebenarannya.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 yang menandakan siswa harus meninggalkan sekolah. Kamipun segera mengumpulkan jawaban kepada Bu Rini.
Ku segera melangkahkan kaki ke gerbang sekolahan seraya berusaha menelepon kakakku untuk minta dijemput. Namun kakakku tak segera mengangkatnya. Akupun mulai kesal.
Tak berapa lama, Dito muncul dengan menaiki sepeda motornya.
"Sa, kamu belum pulang?"
"Eh, iya nih, daritadi aku nelpon kakakku tapi nggak diangkat. Kayaknya dia ketiduran deh," jawabku dengan kesal.
"Yaudah bareng yuk! Rumahmu dimana?" tanya Dito.
"Di Perumahan Griya Asri."
"Wah, searah dong. Ayo naik!"
"Hah? Serius ga ngerepotin?"
"Engga, udah tenang aja."
Akupun segera naik ke motor Dito tanpa mengenakan helm. Entah mengapa cuaca saat ini sedang tidak bersahabat. Perlahan hujan turun rintik-rintik membasahi jalanan kota. Jantungku berdegup kencang tak karuan entah karena Dito atau karena takut basah kehujanan. Dito segera menepi dan mencari tempat berteduh.
"Sa, pake deh ntar kamu kedinginan," Dito menyodorkan jaketnya.
"Nggak usah. Nggak dingin kok," kataku.
"Dipake dooong," Dito melingkarkan jaketnya di pundakku.
Ku terdiam seribu bahasa tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Ku tatap langit yang berwarna abu-abu. Dalam hati ku berkata "Tuhan, kau telah mengijinkanku tuk jatuh cinta."
*****
Di sekolah, Aku dan Tania sedang mengobrol bersama. Tiba-tiba Salma datang dan mengajak kami untuk belajar bersama di Plaza Kota. Ya, aku paham bahwa Tania dan Salma selama ini memang sering keluar bersama. Mereka sudah terbiasa sejak SMP. Bahkan mereka sudah sangat dekat. Dimana ada Tania disitu ada Salma.
Disaat belajar bersama, aku tak sengaja mendengar percakapan mereka,
"Eh kemarin Dito nyamperin aku lhoo pas habis tampil," seru Salma.
"Hah? Ciyusan? Kok bisa?", tanya Tania dengan penuh semangat.
"Iyaaa, dia nanya ke aku suaranya dia barusan bagus nggak," jawab Salma.
"Terus kamu jawab apa?" tanyaku pura-pura biasa saja.
"Ya, aku jawab bagus lah ya. Sumpah ya dia tu keren bangeeetttt, jawab Salma.
*****
Keesokan harinya aku melihat Salma mengobrol berdua dengan Dito. Teman-teman menyoraki mereka." Cieee.......cieee...."
Rupanya teman-teman seangkatan sudah setuju kalau mereka menjalin hubungan. Sungguh, hatiku terasa perih melihatnya. Namun apalah daya, aku sadar aku hanyalah penghalang diantara mereka. Aku tak tahan melihat Tania yang begitu senang jika Salma dan Dito bersama. Apalagi Salma sudah kuanggap seperti sahabatku juga bukan hanya sahabatnya Tania. Aku berusaha sekuat tenaga membunuh rasa yang ada. Entahlah aku tidak tahu. Tuhan, apakah membunuh rasa itu berdosa?
*****
Seiring waktu, aku merasa bahwa ada seseorang yang mengagumiku. Sikap gugupnya ketika di depanku. Caranya memperlakukanku yang berbeda dari yang lain. Aku tahu itu.
Aku sering melihatnya sedang menatapku dari kejauhan.
Maafkan aku yang sering cepat-cepat berlalu dari hadapanmu. Sungguh, ku tak tahan jika ditatap seperti itu. Tuhan, sampaikan padanya bahwa tatapannya membuatku jatuh cinta dan kuharap dia merasakan apa yang aku rasa. Tidak perlu sekarang, cukup besok ataupun lusa. Biarlah waktu yang menentukan. Sederhananya, ku tak ingin merasakan patah hati untuk yang kesekian kalinya.
http://journal.student.uny.ac.id
http://opac.uny.ac.id
http://library.fe.uny.ac.id